Setelah sukses besar dengan debut mereka, Talk to Me, sutradara kembar Danny dan Michael Philippou kembali dengan film horor kedua mereka, Bring Her Back. Film ini membawa penonton ke dalam mimpi buruk domestik yang menggabungkan duka mendalam, ritual okultisme yang mengerikan, dan horor yang sangat mengganggu. Bagi para penggemar yang mengharapkan intensitas adrenalin yang sama dengan film pertama mereka, Bring Her Back menawarkan pengalaman yang berbeda. Ia cenderung lebih lambat dan lebih berfokus pada psikologis, namun sama-sama menjanjikan rasa ngeri yang akan melekat lama di benak Anda.
Bintang utama dalam film ini, Sally Hawkins, yang biasa kita lihat dalam peran yang hangat (The Shape of Water, Paddington), tampil memukau sebagai sosok villain yang kompleks. Ia memberikan performa yang sangat luar biasa dan mengerikan sebagai Laura. Secara kolektif, kritikus film memuji kekuatan film ini dalam membangun ketegangan yang merayap. Film ini menegaskan posisi Philippou bersaudara sebagai maestro horor modern, meskipun kali ini mereka menjelajahi wilayah yang lebih gelap dan berantakan.
Kisah di Balik Judul: Trauma dan Ritual
Film Bring Her Back berpusat pada dua saudara tiri, Andy (Billy Barratt) yang berusia 17 tahun dan adik perempuannya yang memiliki gangguan penglihatan, Piper (Sora Wong). Mereka terpaksa masuk ke sistem asuh setelah ayah mereka meninggal secara mendadak. Hanya beberapa bulan sebelum Andy mencapai usia 18 tahun, usia di mana ia dapat mengajukan perwalian penuh untuk Piper.
Mereka ditempatkan di bawah pengawasan Laura (Sally Hawkins), seorang mantan konselor eksentrik yang masih berduka atas kematian putrinya yang buta, Cathy. Ia juga mengasuh seorang anak laki-laki pendiam, Oliver (Jonah Wren Phillips). Pada awalnya, Laura tampak baik-baik saja, menunjukkan kasih sayang yang berlebihan pada Piper karena ia mengingatkannya pada Cathy.
Namun, lambat laun, niat jahat Laura mulai terungkap. Laura mulai mencoba memutuskan ikatan Andy dan Piper melalui gaslighting psikologis. Ia melakukannya untuk menjaga Piper agar bisa melancarkan rencana jahatnya. Ternyata, ia sedang melakukan ritual okultisme pemanggilan arwah, sebuah upaya nekat untuk membawa kembali putrinya yang sudah meninggal. Ini semua dipicu oleh rekaman video VHS lama, penuh gore dan ritual yang dilakukan oleh penutur bahasa Rusia, yang ia yakini sebagai kunci untuk mengatasi rasa duka yang menghantuinya.
Kedalaman Karakter dalam Ulasan Film Bring Her Back
Salah satu kekuatan terbesar Ulasan Film Bring Her Back adalah penampilan para pemainnya, terutama trio utamanya. Sally Hawkins sangat memukau. Ia dengan mudah bertransisi dari sosok ibu angkat yang ramah menjadi monster yang dingin dan manipulatif. Penampilannya adalah studi kasus tentang bagaimana rasa duka dapat berubah menjadi kegilaan yang merusak. Anda dapat merasakan keputusasaan dan cinta yang menyimpang di balik setiap tindakannya yang semakin mengerikan.
Aktor muda Billy Barratt sebagai Andy berperan sebagai “jendela” kita ke dalam mimpi buruk ini. Ia berhasil menyampaikan rasa trauma, kewaspadaan, dan kefrustrasian seorang remaja yang berjuang untuk melindungi satu-satunya keluarga yang ia miliki, namun mentalnya terus-menerus digerogoti. Di sisi lain, Sora Wong, dalam peran debutnya yang penting sebagai Piper, memberikan penampilan yang tulus. Ia menyeimbangkan sifat lugas seorang anak muda dengan kerentanan posisinya sebagai target dari agenda jahat.
Tak kalah penting, karakter Oliver yang diperankan Jonah Wren Phillips, menjadi manifestasi fisik dari kengerian supernatural yang merasuki rumah itu. Penampilannya yang sangat mengganggu, didukung oleh efek praktis yang mengerikan, memastikan ia akan dikenang sebagai salah satu “anak menyeramkan” paling efektif dalam horor modern.
Horor Visceral dan Warisan Philippou Bersaudara
Sementara Talk to Me mengeksplorasi kecerobohan remaja, Bring Her Back berakar pada tema trauma orang tua dan kerentanan anak-anak di hadapan pengkhianatan orang dewasa. Film ini memanfaatkan ketakutan mendasar bahwa anak-anak tidak berdaya melawan orang yang dipercaya untuk melindungi mereka. Film ini tidak mengandalkan jump scare murahan, melainkan membangun kengerian yang berlarut-larut. Ia menggunakan horor praktis dan body horror yang menjijikkan untuk membuat penonton menggeliat di tempat duduk mereka.
Klimaks film ini menjadi ledakan visual dan emosional. Ia menggabungkan badai petir, pecahan kaca, dan pertumpahan darah. Ini menunjukkan bahwa Philippou bersaudara masih sangat mahir dalam menciptakan sinema yang intens. Meskipun beberapa kritikus merasa mitologi okultisme dalam film ini kurang jelas dan alur ceritanya sedikit muddled dibandingkan film debut mereka, sebagian besar setuju bahwa kualitas sinematografi dan desain suara film ini luar biasa. Film ini berhasil menunjukkan bahwa duo sutradara ini siap menjadi kekuatan dominan di genre horor.
Pada akhirnya, Bring Her Back adalah film horor yang brutal, tidak menyenangkan, tetapi sangat kuat. Ia menunjukkan keberanian untuk mendorong batas-batas dan membuat penontonnya menderita demi seni. Ini adalah tontonan wajib bagi mereka yang menyukai kisah horor yang gelap, berani, dan digerakkan oleh penampilan karakter yang hebat.
Baca juga:
- Review Film A Working Man: Formula Action Jason Statham yang Terlalu Akrab
- The Heart Knows: Kisah Cinta dan Takdir yang Menggetarkan di Netflix
- How to Train Your Dragon 2025: Mampukah Adaptasi Live-Action Ini Terbang Tinggi?
Informasi ini dipersembahkan oleh Naga Empire

