Ketika Nobody pertama kali dirilis pada tahun 2021, kejutan terbesar bukanlah premisnya, tetapi komitmen luar biasa dari Bob Odenkirk untuk mengubah citranya dari pengacara licik di Better Call Saul menjadi seorang pembunuh bayaran suburban, Hutch Mansell. Tiga tahun berselang, sekuel yang paling ditunggu-tunggu, Nobody 2, akhirnya tiba di bioskop. Film ini hadir dengan janji yang sederhana namun menggairahkan: lebih banyak Hutch, lebih banyak kekerasan, dan sentuhan gore khas sineas Indonesia, Timo Tjahjanto, yang mengambil alih kursi sutradara. Bagi yang mencari tontonan aksi yang brutal, lucu, dan benar-benar tak terkendali, Aksi Nobody 2 Gila adalah jawabannya.
Film ini melanjutkan kisah Hutch Mansell yang, meskipun telah berhasil meredakan badai dari film pertama, kini harus membayar hutang besar kepada The Barber ($30 juta) dengan mengambil tugas-tugas “auditor” pemerintah yang mematikan. Pekerjaan ini membuatnya semakin jauh dari keluarganya. Untuk memperbaiki keretakan, Hutch memutuskan membawa keluarganya—termasuk istrinya, Becca (Connie Nielsen), dan ayahnya yang sama berbahayanya, David (Christopher Lloyd)—berlibur ke Wild Bill’s Majestic Midway and Waterpark, tempat yang dikenangnya dari masa kecil. Tentu saja, “liburan” Hutch Mansell tidak pernah berjalan mulus.
Sentuhan Brutal Ala Timo Tjahjanto
Perubahan terbesar dalam Nobody 2 adalah transisi di belakang kamera dari Ilya Naishuller ke sutradara asal Indonesia, Timo Tjahjanto. Tjahjanto, yang dikenal dengan film aksi hiper-kekerasan seperti The Night Comes for Us, membawa estetika sinematik baru yang lebih liar, lebih terstylize, dan lebih berdarah. Jika film pertama menjaga humornya tetap datar dan gritty, sekuel ini mendorong kekerasan ekstrem ke ranah yang lebih kartun dan visceral—sesuatu yang sering dibandingkan dengan nuansa film seperti Deadpool, namun dengan intensitas koreografi yang lebih tajam.
Latar taman bermain yang ceria menjadi panggung kontras yang efektif untuk aksi brutal. Bayangkan Hutch Mansell berjuang untuk hidup di antara komedi putar, rumah cermin, bahkan kolam bola, dengan setiap benda di sekitarnya diubah menjadi senjata mematikan. Tjahjanto sukses menyulap adegan demi adegan pertarungan yang inventif dan kreatif, membuat setiap kali Hutch dipaksa kembali ke mode “pembunuh” terasa menghibur dan sekaligus mengerikan. Meskipun beberapa kritikus merasa Tjahjanto tidak sepenuhnya mencapai klimaks pertarungan ikonik seperti dalam karyanya di Indonesia, kehadirannya sukses membuat Aksi Nobody 2 Gila terasa segar.
Peran Hutch Mansell yang Semakin “Ayah-Ayah”
Di tengah rentetan kekerasan, Bob Odenkirk sekali lagi membuktikan bahwa ia adalah inti emosional yang sempurna untuk franchise ini. Odenkirk terus memerankan Hutch Mansell sebagai pria berkeluarga yang sebenarnya hanya ingin ketenangan, tetapi sayangnya, kekerasan adalah nalurinya yang tak terhindarkan. Humor film ini muncul setiap kali Odenkirk menampilkan ekspresi pasrah seorang ayah yang berpikir, “Astaga, aku hanya ingin liburan yang menyenangkan, tetapi kini aku harus memusnahkan sekelompok preman lagi.”
Plot utama berputar di sekitar upaya Hutch untuk melindungi keluarganya dari kejahatan lokal yang mengganggu liburan mereka. Masalah dimulai ketika anak-anaknya diganggu oleh preman lokal di Plummerville—kota turis kecil yang ternyata menjadi markas operasi penyelundupan kriminal internasional yang dikendalikan oleh bos kejahatan sadis, Lendina, yang diperankan secara over-the-top oleh Sharon Stone.
Konflik Keluarga dan Eksplorasi Nobody 2 Gila
Salah satu hal yang patut dihargai dari Nobody 2 adalah upaya penulis skenario Derek Kolstad (penulis John Wick) dan Aaron Rabin untuk mengikat dinamika keluarga Mansell lebih erat ke dalam plot utama. Istri Hutch, Becca, dan ayahnya, David, diberikan peran yang lebih signifikan dalam aksi klimaks, memperkuat gagasan bahwa seluruh keluarga Mansell adalah unit yang mampu bertarung, bukan hanya Hutch semata.
Film ini juga sempat menyentuh dilema Hutch mengenai hasratnya akan kekerasan. Ia ingin menjauh, tetapi ia tidak bisa. Saat ia berusaha menjadi suami dan ayah yang “normal”, ia tahu bahwa sisi pembunuhnya adalah bagian dari dirinya. Momen-momen di mana Hutch mencoba mengajarkan putranya untuk tidak mengikuti jalan kekerasan, namun pada saat yang sama dia sendiri yang terpaksa melakukan kekerasan brutal, memberikan bobot emosional yang diperlukan di tengah adegan aksi yang meledak-ledak. Film ini dengan cerdas mengeksplorasi perjuangan work-life balance seorang pembunuh bayaran.
Apakah Nobody 2 Lebih Baik dari yang Pertama?
Mayoritas ulasan kritikus sepakat bahwa Nobody 2 adalah sekuel yang “cukup memuaskan” tetapi tidak sepenuhnya melampaui keunikan film aslinya. Film pertama memiliki pesona cerita asal (origin story) yang lebih membumi dan menghadirkan kejutan. Sementara itu, Nobody 2 memilih untuk menukik lebih dalam ke sisi komedi-aksi yang lebih besar dan kurang realistis.
Bagi penonton yang datang untuk melihat Aksi Nobody 2 Gila dan koreografi pertarungan yang cerdas, film ini akan sangat memuaskan. Kehadiran Tjahjanto memastikan setiap pukulan, tebasan katana, dan jebakan taman bermain disajikan dengan flair yang luar biasa. Bob Odenkirk tetap menjadi pusat perhatian yang memesona. Film ini berdurasi singkat dan cepat (sekitar 89 menit), memastikan tontonan yang non-stop dan penuh adrenalin.
Pada akhirnya, Nobody 2 adalah film aksi yang percaya diri. Ia tahu persis apa yang diinginkan penonton: melihat Hutch Mansell yang malang dipaksa melakukan kekerasan yang sangat memuaskan.
Baca juga:
- Review Film Tehran 2025: Geopolitik, Aksi Senyap, dan John Abraham yang Terkendali
- Ulasan Film Kingdom 2025: Drama Aksi Emosional yang Megah
- Review The Naked Gun: Komedi Absurd yang Bikin Sakit Perut!
Informasi ini dipersembahkan oleh paman empire

