Fear Street: Prom Queen — Elizabethtoop Review

Fear Street Prom Queen
Fear Street Prom Queen

Asal Usul Fear Street: Dari Buku R.L. Stine ke Layar Netflix

Fear Street: Prom Queen pertama kali hadir sebagai seri novel karya R.L. Stine, penulis di balik Goosebumps dan dikenal sebagai “Stephen King-nya fiksi remaja”. Novel pertamanya terbit pada 1989, dan sejak itu Stine telah merilis lebih dari 50 buku dalam seri ini, menjual jutaan kopi di seluruh dunia.

Pada tahun 2021, Netflix mengadaptasi Fear Street menjadi trilogi film horor remaja garapan sutradara Leigh Janiak (yang sebelumnya menyutradarai Honeymoon pada 2014). Setiap film dalam trilogi ini berlatar di dekade yang berbeda, dengan sekelompok remaja yang menghadapi horor misterius di kota Shadyside. Meskipun bukan film luar biasa, trilogi ini berhasil menemukan audiensnya, khususnya di masa pandemi ketika streaming sedang naik daun.

Empat tahun kemudian, Netflix kembali dengan bab baru: Fear Street: Prom Queen. Kali ini disutradarai oleh Matt Palmer, yang menulis skenario bersama Donald McLeary. Alih-alih trilogi, film ini hadir sebagai film tunggal dengan durasi singkat dan beberapa adegan pembunuhan super sadis.

Plot Prom Queen: Malam Pesta yang Berubah Jadi Mimpi Buruk

Berlatar tahun 1988, cerita dimulai di hari pesta prom Shadyside High, di mana persaingan menjadi Ratu Prom sangat sengit. Lori (India Fowler), gadis manis yang ayahnya dibunuh di pesta prom bertahun-tahun lalu, menjadi kandidat utama. Banyak orang mencurigai ibunya, Rose (Joanne Boland), sebagai pelaku pembunuhan itu.

Lawan utamanya adalah Tiffany (Fina Strazza), gadis populer yang sombong dan punya geng sahabat yang setia, serta dukungan penuh dari orang tuanya—ibu Nancy (Katherine Waterston) dan ayah Dan (Chris Klein), yang juga guru di sekolah tersebut.

Sahabat Lori, Megan (Suzanna Son), adalah seorang stoner dengan hobi membuat makeup efek mengerikan yang terlihat nyata. Sepanjang film, Megan mulai merasa iri saat Lori mendadak jadi populer. Namun, pesta prom yang seharusnya meriah berubah jadi kacau saat pembunuh misterius datang mengenakan jas hujan merah dan topeng gargoyle, mulai membunuh para kandidat Ratu Prom satu per satu.

Nuansa 80-an dan Karakter Berlapis, Tapi Terasa Hambar

Meski durasinya hanya 80 menit, film ini menghabiskan cukup banyak waktu untuk memperkenalkan berbagai karakter di Shadyside. Ada Kepala Sekolah Wayland (Darrin Baker) yang ingin membuang citra kelam kota lewat malam prom, dibantu oleh Wakil Kepala Sekolah Dolores (Lili Taylor) yang disiplin dan galak.

Selain Lori dan Tiffany, ada juga Christy (Ariana Greenblatt), pengedar narkoba sekolah, dan Melissa (Ella Rubin), salah satu anggota geng Tiffany. Palmer dan McLeary tampaknya ingin memberikan banyak tersangka potensial, termasuk para pacar para gadis dan petugas kebersihan sekolah yang mencurigakan.

Film juga mencoba membangun atmosfer 1980-an lewat lagu-lagu terkenal dari era itu. Sayangnya, gaya visual khas Netflix yang terlalu “digital” justru merusak kesan otentik zaman itu. Bahkan, ada kejanggalan kecil seperti bioskop lokal yang menayangkan Phantasm II, film yang baru rilis pada Juli 1988—tidak masuk akal bila diputar bertepatan dengan prom sekolah.

Pembunuhan Brutal tapi Minim Ketegangan

Saat pesta prom dimulai, pembunuh berjas merah mulai beraksi dengan brutal. Salah satu korban mendapat gergaji di wajah, ada pula yang tangannya terpotong paksa oleh alat pemotong kertas—bahkan mencoba membuka pintu dengan sisa tangannya sebelum akhirnya dibunuh. Adegan pemotongan anggota tubuh ini cukup sering muncul, membuat penonton bertanya-tanya seberapa kuat pembunuh ini secara supranatural.

Namun, semua ini tidak benar-benar menakutkan. Palmer justru mengarahkan film ke tone komedi gelap. Penampilan para aktor bervariasi dari biasa saja hingga sangat antusias. Suzanna Son sebagai Megan menjadi satu-satunya yang benar-benar mencuri perhatian. Sayangnya, karakternya hanya jadi sidekick, padahal layak mendapat peran utama.

Dalam salah satu momen paling lucu, kepala terpenggal yang muncul di mangkuk punch malah dianggap sebagai salah satu prank makeup Halloween Megan. Untuk penonton yang hanya ingin melihat aksi sadis, Fear Street: Prom Queen bisa jadi cukup menghibur. Tapi untuk yang mencari cerita kuat atau atmosfer seram, film ini terasa kurang menggigit.

Baca juga:

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *