Smurfs 2025: Review Film Komedi Musikal yang Penuh Warna dan Konflik Identitas

review film Smurfs 2025
review film Smurfs 2025

Awal Baru yang Berwarna Biru: Review Film Smurfs 2025

 

Setelah serangkaian film hibrida live-action dan animasi yang kurang memuaskan, review film Smurfs 2025 menjadi sorotan utama. Film yang disutradarai oleh Chris Miller (dikenal lewat Puss in Boots) dan ditulis oleh Pam Brady ini menawarkan format animasi penuh dengan sentuhan musikal dan voice cast bertabur bintang, termasuk penyanyi pop Rihanna sebagai Smurfette. Namun, apakah reboot ini berhasil membawa kembali pesona makhluk biru kecil yang dicintai dari komik klasik Peyo? Jawabannya, sayangnya, cukup rumit. Film ini penuh warna, energik, dan memiliki momen-momen visual yang cemerlang, tetapi ia bergulat dengan alur cerita yang terlalu padat dan krisis identitas, baik bagi karakternya maupun waralabanya sendiri.

Film ini tidak lagi berfokus pada konflik klasik antara Papa Smurf dan penyihir jahat Gargamel. Sebaliknya, narasi utama berputar di sekitar Smurf baru, No Name Smurf (disuarakan oleh James Corden), yang merasa kehilangan arah karena belum memiliki “sifat khas” layaknya Smurf lain, seperti Hefty Smurf yang kuat atau Brainy Smurf yang cerdas. Krisis identitas ini adalah inti emosional dari cerita, yang seolah menegaskan kembali tema yang sudah pernah diangkat dalam Smurfs: The Lost Village (2017), meskipun plot film ini mengabaikan sepenuhnya elemen-elemen dari film sebelumnya tersebut.

 

Petualangan Antar Dimensi yang Terlalu Ramai

 

Alur cerita dimulai ketika No Name Smurf secara tidak sengaja mendapatkan—atau lebih tepatnya, menemukan—kekuatan sihir, yang tanpa disadari memicu alarm bahaya dan mengungkap lokasi Desa Smurf kepada ancaman yang jauh lebih besar dari Gargamel. Ancaman tersebut adalah Razamel (JP Karliak, yang juga menyuarakan Gargamel), saudara laki-laki Gargamel, yang merupakan bagian dari Aliansi Penyihir Jahat Intergalaksi. Tujuan Razamel adalah merebut Buku Sihir terakhir yang disembunyikan oleh Papa Smurf (John Goodman) demi menguasai alam semesta. Ketika Papa Smurf diculik, Smurfette memimpin tim penyelamat, termasuk No Name, dalam sebuah petualangan seru melintasi portal dimensi.

Perjalanan ini membawa para Smurf dari Desa mereka ke dunia manusia di Paris, lalu ke outback Australia, hingga ke pangkalan rahasia di Munich. Masalah utama film ini terletak pada alurnya yang terlalu padat dan berlapis. Penulis skenario Pam Brady memasukkan terlalu banyak karakter baru dan elemen lore baru sekaligus—mulai dari saudara Papa Smurf yang telah lama berpisah, Ken (Nick Offerman) dan Ron (Kurt Russell), hingga Snooterpoots yang menyerupai furball lucu, dan Joel, antek Razamel yang konyol.

Kelebihan dari adegan dimension-hopping ini adalah memberikan panggung bagi departemen animasi. Visual film ini tampil memukau dengan gaya animasi cel-shaded yang cemerlang, sesekali beralih ke gaya animasi yang berbeda, seperti claymation atau figur stik, yang memberikan segar dan visual yang menarik. Namun, perpindahan lokasi dan pengenalan karakter yang begitu cepat membuat kita sebagai penonton sulit untuk bernapas dan benar-benar terhubung secara emosional dengan dilema karakter utama, No Name Smurf, yang seharusnya menjadi jangkar cerita. Bahkan Smurfette, yang diposisikan sebagai pahlawan yang memimpin misi penyelamatan, terkadang terasa terpinggirkan oleh kekacauan alur dan banyaknya pemain pendukung.

 

Musik, Komedi, dan Isu Kedalaman Emosional

 

Sebagai film musikal, Smurfs (2025) menampilkan lagu-lagu orisinal yang dibawakan dengan apik oleh cast bersuara emas, terutama Rihanna. Adegan pembuka, yang secara tak terduga beralih dari melodi klasik Hanna-Barbera ke lagu modern dengan tarian bergaya Busby Berkeley, sangat memompa energi dan menunjukkan potensi film ini. Sayangnya, film ini terasa ragu-ragu untuk sepenuhnya berkomitmen pada format musikalnya, sehingga lagu-lagu yang muncul terasa tidak merata dan kurang berkesan.

Upaya film untuk menjadi lucu juga cukup sporadis. Ada momen-momen jenaka yang mengundang tawa, tetapi banyak lelucon yang mengandalkan slang modern atau referensi yang terasa dipaksakan, seperti menyebutkan “Zoom meetings” yang anehnya muncul dalam dialog. Komedi seperti ini terasa sangat berbeda dengan nuansa abadi yang seharusnya dimiliki oleh waralaba The Smurfs. Kualitas humor yang tidak konsisten membuat film ini kehilangan daya tariknya, terutama bagi penonton dewasa, meskipun mungkin cukup menghibur bagi anak-anak kecil yang tidak terlalu peduli pada alur cerita yang padat.

Namun, di tengah semua kekacauan, film ini sesekali menyentuh tema yang indah tentang penerimaan diri dan menemukan jati diri tanpa didefinisikan oleh orang lain—sebuah pesan yang jelas, meskipun penyampaiannya klise (“Believe in yourself“). Para kritikus secara umum sepakat bahwa film ini memiliki visual dan animasi terbaik dari semua film Smurf hingga saat ini, tetapi kekurangan hati dan kehangatan yang mendalam menjadikannya sebuah tontonan yang mudah terlupakan.

 

Kesimpulan: Apakah Smurfs (2025) Layak Ditonton?

 

Secara keseluruhan, review film Smurfs 2025 menunjukkan bahwa film ini adalah sebuah paket hiburan visual yang penuh warna dengan voice cast papan atas. Jika Anda mencari tontonan animasi yang energik, cepat, dan tidak terlalu memusingkan logika, film ini mungkin bisa menjadi hiburan singkat untuk anak-anak. Namun, bagi penggemar sejati waralaba ini atau bagi mereka yang mengharapkan film dengan narasi yang lebih rapi dan emosi yang kuat, Smurfs (2025) terasa seperti petualangan yang tersesat dalam ambisinya sendiri. Film ini mencoba terlalu keras untuk menjadi segalanya bagi semua orang, dan pada akhirnya, menjadi film untuk tidak seorang pun.

Baca juga:

Informasi ini dipersembahkan oleh rajabotak

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *